Abstract
This study aims to determine the attitude of Islamic Religious Education teachers in elementary schools towards the implementation of inclusive education. The study used a non-experimental quantitative approach with a survey method. Subjects or informants in this study were teachers of Islamic Education who were scattered from 16 elementary schools in South Kalimantan. Data collection was carried out using questionnaires and interviews. Data were analyzed using descriptive statistics using percentages; teacher attitudes were assessed based on five criteria, namely excellent, good, sufficient, lacking, and very poor. These criteria adjust to the percentage range obtained. The results showed that the percentage of Islamic education teachers' attitudes towards the implementation of inclusive education in South Kalimantan was 67.18%, which was categorized as quite good. Several variables affect teacher attitudes in terms of gender, recent education, experience in training.
Pendahuluan
Pendidikan inklusif sudah menjadi trend global, dalam prakteknya mendidik semua siswa, termasuk yang mengalami hambatan yang parah ataupun majemuk, di sekolah-sekolah reguler yang biasanya dimasuki anak-anak non berkebutuhan khusus 1. Pendidikan inklusi merupakan praktek yang bertujuan untuk pemenuhan hak azasi manusia atas pendidikan, tanpa adanya diskriminasi, dengan memberi kesempatan pendidikan yang berkualitas kepada semua anak tanpa perkecualian, sehingga semua anak memiliki kesempatan yang sama untuk secara aktif mengembangkan potensi pribadinya dalam lingkungan yang sama2 .
Praktik seperti ini telah dilakukan oleh berbagai negara lebih dari 20 tahun semenjak Salamanca Statement dikeluarkan pada tahun 1994. Sebagai sebuah landasan filosofis dalam menyediakan akses yang setara bagi semua peserta didik, pendidikan inklusif mengubah lingkungan sekolah yang terbatas menjadi sebuah lingkungan yang lebih ramah dan dapat diakses oleh peserta didik yang beragam. Pemberian pendidikan yang bermutu bagi anak berkebutuhan khusus tentunya merupakan tantangan bagi pengelola sekolah, terutama untuk guru.
Pemberian pendidikan yang bermutu bagi anak berkebutuhan khusus tentunya merupakan tantangan, misalnya kebijakan yang tidak tepat 3, kurangnya dukungan 4, pelatihan yang kurang memadai 5, serta sikap guru 6. Adanya pendidikan inklusi menyebabkan tantangan baru pada guru, yaitu dalam hal melakukan perubahan yang signifkan terhadap program pendidikan dan mempersiapkan guru-guru untuk menghadapi semua kebutuhan siswa baik siswa berkebutuhan khusus maupun non berkebutuhan khusus 7.
Perubahan-perubahan yang diharapkan dalam pendidikan inklusif itulah yang menyebabkan perubahan sikap yaitu perbedaan sikap guru dalam menerima sistem penyelenggaraan pendidikan inklusif. Keberhasilan implementasi pendidikan inklusif terutama tergantung pada sikap dan kepedulian guru terhadap kebijakan inklusi. Sikap guru juga dipengaruhi oleh banyak variabel dan faktor terkait seperti jenis disabilitas, tingkat keparahan dan sifat kecacatan pada anak, pelatihan guru dan ketersediaan sumber daya. Persepsi guru tentang pengembangan pendidikan inklusif harus diingat karena ada kemungkinan bahwa persepsi mereka dapat mengubah perilaku dan penerimaan mereka terhadap siswa dengan disabilitas. Persepsi guru sangat berpengaruh dalam efektivitas penyelenggaraan pendidikan inklusif karena mereka memegang peran yang sangat penting dan bertanggung jawab atas implementasi layanan pendidikan inklusif8 . Jika seorang guru tidak menginginkan anak tertentu di kelasnya, maka sangat sulit untuk melihat potensi yang dimiliki oleh seorang anak, guru tidak ada upaya memberikan pembelajaran yang dapat meminimalisir berbagai hambatan dari anak berkebutuhan khusus9.
Pemahaman sikap guru terhadap inklusi sangat penting untuk perencanaan program di masa depan, baik guru kelas, guru pendamping khusus, maupun guru mata pelajaran 10. Sehingga, penelitian ini bertujuan untuk melakukan pengkajian tentang sikap guru mata pelajaran PAI terhadap penyelenggaraan pendidikan inklusif. Bagi guru PAI, praktek inklusif bukanlah hal baru, mengingat dalam Agama Islam itu sendiri telah diajarkan prinsif-prinsif inklusif untuk bisa menerima dan menghargai setiap perbedaan, sebagaimana Firman Allah pada surah ‘Abasa ayat 1-16 yang menjelaskan tentang seorang buta bernama Abdullah bin Ummi Maktum. Dia datang kepada Rasulullah S.A.W. meminta ajaran-ajaran tentang Islam; lalu Rasulullah S.A.W bermuka masam dan berpaling daripadanya, karena beliau sedang menghadapi pembesar Quraisy dengan pengharapan agar pembesar-pembesar tersebut mau masuk Islam. Maka turunlah surat ini sebagai teguran kepada Rasulullah S.A.W. Bahwa setiap orang tanpa terkecuali harus mendapatkan layanan pendidikan. Tidak memandang usia, mulai dari usia kandungan sampai dengan liang lahat, puntidak memandang fisik baik yang normal maupun yang mengalami hambatan. Dengan demikian, perjalanan menuntut ilmu dianggap sakral, tak kenal lelah, dan dilakukan untuk melengkapi dan menyelesaikan pendidikan seseorang.
Secara kelembagaan Kementerian Agama di Indonesia bertanggung jawab atas penyelenggaraan pendidikan keagamaan di sekolah dan memiliki komitmen guna memastikan bahwa layanan pendidikannya dapat dirasakan oleh semua anak tanpa kecuali. Guru agama dituntut memiliki visi, misi, dan wawasan yang luas serta kemampuan profesional yang memadai dalam perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan penyelenggaraan pendidikan. Beberapa tugas guru PAI kaitannya dengan penyelengaran pendidikan inklusif di sekolah, diantaranya sebagai berikut: (1) Mengelola pembelajaran yang berpusat pada peserta didik dalam kelas yang beragam; (2) Menciptakan lingkungan kelas yang inklusif; (3) Menangani kebutuhan pembelajaran peserta didik secara akomodatif; (4) Merencanakan, melaksanakan, dan menilai program pembelajaran sejalan dengan landasan pendidikan yang berasaskan demokrasi, berkeadilan, dan tanpa diskriminasi (Dirjen Pendidikan Islam, 2017).
Dengan demikian, dirasa sangat perlu melakukan penelitian terkait sikap guru PAI terhadap penyelenggaraan pendidikan inklusif, apakah sikap yang di tunjukkan oleh guru PAI telah sesuai dengan ajaran Agama Islam dan amanat kebijakan Kementerian Agama Republik Indonesia.
Metode
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif non eksperimen dengan metode survey. Penelitian survey digunakan untuk mengumpulkan informasi berbentuk opini terhadap isu-isu tertentu, informasi yang dikumpulkan untuk mendeskripsikan beberapa karakteristik tertentu seperti, kemampuan, sikap, kepercayaan dan pengetahuan 11. Dalam penelitian survey ini berfokus dalam mendeskripsikan sikap guru PAI terhadap penyelenggaraan pendidikan inklusif di sekolah dasar. Subjek dalam penelitian ini adalah guru-guru mata pelajaran PAI di jenjang sekolah dasar dari 16 sekolah dasar penyelenggara pendidikan inklusi di Kalimantan Selatan.
Pengumpulan data dilakukan melalui kuesioner. Dalam pelaksanaannya, peneliti melakukan penyebaran angket ke setiap sekolah dengan menggunakan google form. Data yang terkumpul kemudian dianalisis menggunakan statistik deskripitif dengan ketentuan sebagai berikut:
persentase sikap guru PAI= (skor perolehan)(skor maksimal)×100
Persentase yang diperoleh kemudian dimaknai sesuai dengan panduan dibawah ini:
Hasil dan Pembahasan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui sikap guru PAI di ekolah Dasar terhadap implementasi pendidikan inklusif. Sikap guru diukur menggunakan survei dengan lima kriteria yaitu sangat baik; baik; cukup; kurang; dan sangat kurang. Sikap guru PAI terhadap implementasi pendidikan inklusif disajikan pada Tabel 3 berikut:
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sikap guru Pendidikan Agama Islam (PAI) terhadap implementasi pendidikan inklusif di Kalimantan Selatan 67,18% dengan kriteria sikap cukup baik. Temuan dalam penelitian ini menunjukkan beberapa sikap guru PAI dalam menyikapi implementasi pendidikan inklusif, diantaranya sebagai berikut: (1) memiliki kekhawatiran yang berlebihan terkait penolakan terhadap anak berkebutuhan khusus; (2) memiliki perasaan takut mereka tidak dapat berinterkasi dengan siswa berkebutuhan khusus; (3) kesulitan membuat kontak atau berkomunikasi dengan siswa berkebutuhan khusus; (4) khawatir akan beban kerja yang semakin banyak jika mengahadapi atau mengajar siswa berkebutuhan khusus di kelas mereka; (5) beberapa diantara mereka beranggapan bahwa merupakan hal yang mengerikan jika berhadapan dengan siswa berebutuhan khusus; (6) beberapa diantara mereka juga beranggapan bahwa mereka akan menjadi lebih stress jika berhadapan dengan siswa berkebutuhan khusu di kelas; (7) perasaan khawatir bahwa mereka tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk mengajar siswa berkebutuhan khusus; (8) disisi lain, sebagian besar guru menyatakan bahwa siswa berkebutuhan khusus harus diberikan kesempatan untuk berpartisipasi dalam kelas umum, jika memungkinkan. Sikap negatif terhadap inklusi dapat dikaitkan dengan lingkungan belajar di kelas yang kurang inklusif, sikap guru yang kurang positif terhadap inklusi.12
Penelitian ini berfokus pada pernyataan setuju atau tidak setuju subjek penelitian terhadap item pernyataan tertentu, dan hasilnya menunjukkan bahwa sebagian besar guru sepakat bahwa siswa berkebutuhan khusus berhak dan harus diberi kesempatan untuk terlibat aktif dalam kegiatan pembelajaran di kelas reguler. Namun, walaupun demikian sejumlah besar guru juga tampak menunjukkan beberapa sikap yang tidak mendukung pemberian layanan siswa berkebutuhan khusus di kelas reguler, dengan menunjukkan ketidakmampuan berkomunikasi dengan siswa berkebutuhan khusus, merasa stres dan beranggapan bahwa beban kerjanya akan semakin berat jika menghadapi siswa berkebutuhan khusus di kelas mereka. Hasil ini dapat diartikan bahwa mereka mendukung pendidikan inklusif bagi siswa berkebutuhan khusus dalam teori, tetapi menyatakan keberatan dalam implementasinya di lapangan 13, 14, 15, 16.
Mengenai veriabel yang mempengaruhi sikap guru, tidak ditemukan perbedaan sikap yang signifikan antara laki-laki dan perempuan. Temuan ini sejalan dengan beberapa penelitian yang tidak menemukan perbedaan sikap antara guru laki-laki dan guru perempuan 17, 18, 14, 19 . Namun juga terdapat penelitian yang menemukan bahwa guru perempuan memiliki kepedulian dan empati yang lebih baik pada anak berkebutuhan khusus sehingga menunjukkan sikap yang lebih positif terhadap penyelenggaraan pendidikan inklusif daripada guru laki-laki 20. Guru dalam pandangan Islam adalah seorang pribadi yang mempunyai kecakapan ilmu dan profesional dalam menjalankan proses pembelajaran. Guru yang mengembangkan nilai-nilai Islam inklusif adalah guru yang membebaskan dan memerdekakan. Guru yang memposisikan subjek didik sebagai manusia merdeka dan memiliki potensi hingga pembelajaran memberi ruang yang seluas-luasnya bagi subjek didik untuk berkembang secara maksimal 21.
Latar belakang pendidikan juga tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap sikap guru, guru PAI dalam penelitian ini memiliki latar belakang pendidikan sarjana endidikan Agama Islam. Pendidikan Islam mendapat ujian dalam membangun individu di satu sisi memiliki komitmen yang kuat terhadap agama yang dianut, di sisi lain tumbuhnya sikap positif dan toleransi terhadap respon atas keragaman golongan di dalam internal umat Islam.
Dengan menumbuhkan sikap positif dan toleransi antar golongan diharapkan dapat mewujudkan kerukunan yang menjadi semboyan kebanggaan bangsa Indonesia yaitu bhineka tunggal ika, Islam mempunyai watak inklusif yang sifatnya terbuka, begitu pun seharusnya pendidikan Islam. Menurut Sayyid Quttub bahwa sudah seharusnya Islam memberikan suasana partisipasi sosial, perlakuan yang baik dan pergaulan kepada mereka yang berbeda pandangan terhadap kita (Lajnah, 2014) dalam 22 . Dalam Al-Qur’an sebenarnya gagasan tentang pendidikan Inklusif termaktub dalam beberapa ayat. Diantara salah satunya adalah Qs. Al-Hujurat/49 : 10 – 13. Dalam surah tersebut memaparkan tentang etika atau akhlak dalam berhubungan antar sesama manusia. Sebagaimana dijelaskan dalam Al Qur’an Surah al-Hujurat ayat 10 bahwa setiap mukmin adalah bersaudara. Berikut pemaparannya.
Artinya: Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara, maka itu damaikanlah kedua saudaramu itu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.
Maka sudah selayaknya internalisasi semangat dan nilai-nilai inklusif harus bersemayam dalam implementasi pendidikan Islam 23. Tujuan pendidikan Islam harus dirumuskan dengan landasan dan semangat merawat perbedaan. Reorientasi pendidikan Islam yang berwawasan inklusif dengan memadukan aspek kesalehan individu dan kesalehan sosial sebagai upaya mengembangkan kerukunan umat serta upaya peningkatan kualitas pendidikan perlu untuk diperhatikan. Pendidikan yang dimaksud adalah pendidikan yang melahirkan akhlak karimah dengan indikator adanya sikap jujur, tenggang rasa, dan cinta kasih antar sesamanya (Nazaruddin, 2007) dalam23 .
Salah satu variabel yang juga mempengaruhi sikap guru PAI terhadap implementasi pendidikan inklusif adalah keikutsertaan dalam pelatihan pendidikan khusus, subjek pada penelitian ini sebagain besar tidak pernah mengikuti pelatihan tentang pendidikan khusus, tiga orang guru diataranya pernah mengaku pernah mengikuti pelatihan, namun materi pelatihan yang didapatkan belum sampai pada penanganan anak berkebutuhan khusus di kelas inklusi, dengan demikian, sikap yang ditunjukkan cenderung sama denganguru-guru yang tidak pernah mendapatkan pelatihan. Sikap positif guru dapat dipupuk baik melalui pelatihan tentang pendidikan khusus dan pengalaman konstruktif dengan siswa berkebutuhan khusus 24, 25. Kegiatan pelatihan merupakan waktu yang tepat untuk mengatasi masalah yang dihadapi guru PAI dalam menghadapi anak berkebutuhan khusus di kelas mereka, dan juga memungkinkan untuk mengubah sikap guru terhadap pengajaran siswa yang beragam serta terhadap siswa berkebutuhan khusus.
Salah satu variabel yang juga mempengaruhi sikap guru PAI terhadap implementasi pendidikan inklusif adalah keikutsertaan dalam pelatihan pendidikan khusus, subjek pada penelitian ini sebagain besar tidak pernah mengikuti pelatihan tentang pendidikan khusus, tiga orang guru diataranya mengaku pernah mengikuti pelatihan, namun materi pelatihan yang didapatkan belum sampai pada penanganan anak berkebutuhan khusus di kelas inklusi, dengan demikian, sikap yang ditunjukkan cenderung sama denganguru-guru yang tidak pernah mendapatkan pelatihan. Sikap positif guru dapat dipupuk baik melalui pelatihan tentang pendidikan khusus dan pengalaman konstruktif dengan siswa berkebutuhan khusus 24, 25. Kegiatan pelatihan merupakan waktu yang tepat untuk mengatasi masalah yang dihadapi guru PAI dalam menghadapi anak berkebutuhan khusus di kelas mereka, dan juga memungkinkan untuk mengubah sikap guru terhadap pengajaran siswa yang beragam serta terhadap siswa berkebutuhan khusus.
Pembentukan sikap positif guru sangat dimediasi oleh pendidikan yang memadai sehubungan dengan pendidikan inklusif bagi siswa berkebutuhan khusus, dukungan dari kolega dan manajemen sekolah. Persepsi guru tentang kompetensi mereka dalam memfasilitasi lingkungan pembelajaran bagi anak berkebutuhan khusus di kelas inklusif, dan perilaku yang ditunjukkan siswa berkebutuhan khusus turut mempengaruhi sikap guru 12. Para guru khawatir tentang kompetensi mereka untuk memasukkan siswa berkebutuhan khusus di kelas mereka, beberapa guru merasa kurang terlatih, dan menyatakan kesulitan dalam memantau siswa lain ketika terdapat siswa berkebutuhan khusus di kelas26 . Dengan adanya peningkatan pengetahuan guru PAI melalui kegiatan pelatihan tentang pendidikan khusus, maka guru akan menjadi lebih percaya diri dalam menangani siswa berkebutuhan khusus di kelas mereka. Kepercayaan diri guru dianggap sebagai faktor penting yang memiliki dampak signifikan pada sikap mereka terhadap implementasi pendidikan inklusif. Guru yang percaya diri cenderung menunjukkan sikap yang lebih positif terhadap inklusi 25. Semakin tinggi rasa percaya diri seoarang guru, maka guru akan menunjukkan sikap yang lebih positif terhadap inklusi dan tidak merasa terbebani dalam mengajar siswa berkebutuhan khusus 27. Guru yang memiliki kepercayaan diri yang rendah maka akan merasa kekhawatiran dan stres saat menghadapi siswa berkebutuhan khusus, sehingga tidak dapat mengakomodasi kebutuhan belajar siswa berkebutuhan khusus di kelas reguler28.
Selain intervensi yang ditujukan untuk guru berupa pelatihan, juga perlu ada undang-undang yang lebih spesifik yang mencakup masalah pendidikan inklusi. Undang-undang atau kebijakan pemerintah terkait pendidikan inklusif dan sikap guru yang positif serta dengan dukungan profesional dapat menyukseskan penyelenggaraan pendidikan inklusif. Keterpaduan guru yang kompeten, sumber daya yang memadai dan dukungan sekolah disinyalir mampu mewujudkan implementasi pendidikan inklusif yang sesuai dengan harapan29 .
Kesimpulan
Berdasarkan paparan hasil penelitian dan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa sikap guru PAI terhadap implementasi pendidikan inklusif di Kalimantan Selatan termasuk dalam kriteria cukup baik atau cukup positif. Sebagian besar guru sepakat bahwa siswa berkebutuhan khusus berhak dan harus diberi kesempatan untuk terlibat aktif dalam kegiatan pembelajaran di kelas reguler. Namun, walaupun demikian sejumlah besar guru juga tampak menunjukkan beberapa sikap yang tidak mendukung pemberian layanan siswa berkebutuhan khusus di kelas reguler, dengan menunjukkan ketidakmampuan berkomunikasi dengan siswa berkebutuhan khusus, merasa stres dan beranggapan bahwa beban kerjanya akan semakin berat jika menghadapi siswa berkebutuhan khusus di kelas mereka. Kurangnya pengetahuan dan keerampilan guru PAI dalam pembelajaran siswa berkebutuhan khusus di kelas mereka, maka perlu adanya pengadaan pelatihan pendidikan khusus yang ditujukan kepada guru PAI secara berkesinambungan, sehingga guru PAI akan lebih percaya diri dalam membelajarkan siswa berkebutuhan khusus, yang pada akhirnya diharapkan sikap guru terhadap implementasi pendidikan inklusif akan lebih baik atau lebih positif sesuai dengan ajaran Islam.